15.9.13

We Are BestFriend- Aren't We?

Tahun berganti tahun. Ketemu ini ketemu itu. Kita tetap bersama. Tahun berganti tahun. Ketemu ketemu ketemu itu. Ketemu  ketemu ini. Tahun berganti tahun. Ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu itu. Ketemu ini. Tahun berganti tahun. Ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu itu. Ketemu. Ini apakabar? Kita tetap bersama.
Teman. Sahabat. 2 kata yang terlihat sama tapi berbeda. Jadi, teman itu siapa? Sahabat itu siapa? Kita itu siapa? Kita?

Nggak bisa dipungkiri manusia emang makhluk sosial yang nggak bisa hidup tanpa orang lain. Untuk itulah kita pasti mencari sosok untuk saling berbagi. Sosok? Teman, maksudnya? Ya. Mungkin. Mari dimulai dari level terendah.

TK. Taman Kanak-Kanak. Isinya anak-anak. Anak-anak itu suka ngapain? Main. Jadi siapapun yang main di taman itu  pastilah anak-anak. Lol sorry. Ok ok. Kalau gue boleh inget masa 14 tahun silam itu, yang terbesit hanyalah saat gue dicium sama Kelvin si ingus ijo, saat gue nari piring, saat gue turun dari prosotan dengan posisi kepala dibawah, saat gue dapet piala juara umum, saat gue nungguin mbak jemput sambil ngunyah permen karet, saat gue ngobrol-ngobrol dengan......teman. Teman yang mana? Mukanya aja lupa, masa bisa gue bilang teman. Oh, jadi kalau udah lupa nggak bisa disebut teman lagi ya? Yang gue inget cuma Devina sama Ajeng. Jadi, mereka teman gue. 

SD. Devina kemana? Ajeng kemana? Ah. Tapi masih inget kok mukanya, jadi kita tetap teman. 6 tahun bernaung disini dan gue bertemu......teman lagi. Teman? Jadi teman gue bukan cuma Ajeng sama Devina? Jadi, Ayu, Ando, Deni, Yenny, Randra, Fred, Anggi, Ita, Via itu teman gue juga? Teman aja? "Bukan, kita tuh sahabat, Dig". Some of friends told that. Sahabat? Yang seperti apakah? Oh. Yang seperti ke kantin selalu sama-sama, ikut ekskul yang sama, ngobrol dimanapun sama-sama, ke kamar mandi sama-sama, pulang juga sama-sama. Oh berarti ini antara gue dengan Yenny. Most of time on elementary school emang gue abisin pol sama dia. Jadi saat ini teman gue ada Devina, Ajeng, Ayu, Ando, Deni...dan segudang lagi yang sampai saat ini masih gue inget mukanya. Soal sahabat, Yenny masih di posisi utama.

SMP. Loh Yenny mana? Ga kemana-mana. Tapi, rutinitas 'sama-sama' itu nggak pernah terjalin lagi karena kita berada di tempat yang berbeda. Jadi, gue kehilangan sahabat nih? Terus, Yenny jadi apa? Teman aja ya? Rutinitas 'sama-sama' ternyata kembali hadir, meskipun dengan orang yang berbeda. Mereka adalah Ayu, Andrie, Amel, Epin, Steni, dan Diana. Oh, sahabat gue kali ini ya 6 orang ini.

SMA. Semuanya kemana?!? Ayu ketemu yang lain. Andrie sama aja. Amel apalagi. Epin ikut-ikutan. Steni entahlah. Diana juga tuh. Tapi gue masih inget mereka. Jadi, kita tetep teman. Oke fine, gue harus kembali hunting cari pelaku rutinitas bersama. Ketemu deh sama Mora Jessaya. Mereka sahabat gue! Tapi tapi, kok Helena sama Inez juga sering melakukan rutinitas itu ya. Loh, jadi sahabat gue ada 4 nih? Ok.

KULIAH. Apa gue harus bilang kalau ke-empat sosok itu juga udah nggak bisa melakukan rutinitas yang sama lagi dengan gue? So, pencarian berikutnya dimulai. Ketemulah dengan Desy, Erieke, Teo, Johnson, Brilly, Wahyu, Ardi. Oke, kita berdelapan adalah sahabat yang harus selalu sama-sama. Loh tapi kenapa cuma bertahan 1 semester? Kok pada sibuk sama BEM, OC, Softball, HMJ? Kok lagi-lagi mereka ketemu yang itu? Yang ini gimana? Dilanjutin nggak? Jadi, sahabat gue siapa? 

Begitu banyak orang yang pernah gue kenal sepanjang hidup ini, baik yang secara mencolok mempengaruhi ataupun yang sekadar lewat doang. Makanya nggak jarang kita suka bertanya, "Hah? XXXX yang mana ya? Anak mana dulunya? Trus sekarang kuliah dimana?" - waktu orang lain coba nanya "Eh kenal XXXX ga?".

Sahabat. Gimana ya bilangnya. 
Jadi gue di Semarang. Tiap pulang ke Jakarta mainnya sama yang itu-itu aja.  Orang-orang yang gue kenal di SMP. Yang sampai terpisah beratus kilometer  seperti saat ini masih getol nyariin gue. Gue pun juga getol bilang "Eh kangen, main yuk." Kangennya bukan kangen formalitas. Bener-bener ngerasa kalau gue butuh mereka. Mereka, yang ketemu ketemu ketemu ketemu ketemu orang lain dengan frekuensi lebih banyak dibanding ketemu gue, masih tetap mengganggap gue adalah bagian dari mereka. Yup, secara fungsional, mereka gue anggep sahabat. Kita ngobrolin apapun. Bahkan ngobrolin "kita" diantara kita. Kita punya indside jokes yang buat kita aja. Tapi "kita" yang kita obrolin kadang gak tau. Loh kepecah deh jadi "kita" dan kita. Kadang yang tadinya dari kita, bisa berubah fungsi ke "kita". Yang tadinya "kita" malah puter balik ke kita. Bahkan gue kadang bingung, apakah gue ini kita ataukah "kita".

Menyatukan jadi K I T A yang sesungguhnya emang nggak gampang. Terbuka itu pekerjaan yang sulit. Jadi jangan heran kalau awalnya satu visi bilang sahabat, tapi tiba-tiba hilang perlahan. Kadang ngomongin A sama B, eh tiba-tiba A sama B malah ngomongin elo. Ngomongin orang itu manusiawi nggak sih? Apakah yang suka ngomongin sahabatnya sendiri bersama sahabat itu namanya bukan sahabatan?

Coba lo inget-inget lagi siapa yang pernah lo sebut sebagai sahabat. Katanya, sahabat  itu yang bisa nerima kita apa adanya, dalam suka maupun duka, nggak mandang pinter atau bodoh, miskin apa kaya, cantik atau jelek, gaul apa biasa aja, dsb. Katanya, mereka selalu ada saat kita butuhin. Katanya lagi, sahabat itu terbuka satu sama lain.  Apa iya lo nggak pernah ngomongin dia di dalem peer-group lo sendiri? Sure?  One in million. Bahkan gue rasa sahabat yang sejati itu nggak pernah ada. Ada, tapi bukan manusia. 

No comments:

Post a Comment